Beranda | Artikel
Hak-Hak Al-Bara
Rabu, 12 Mei 2004

Ketiga belas
AL-WALA’ WAL BARA’

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

F. Hak-Hak al-Bara’[1]
Ahlus Sunnah memandang bahwa dalam al-bara’ (berlepas diri dari kekufuran) terdapat hak-hak yang harus dipenuhi, antara lain:

1. Membenci syirik dan kufur serta penganut-penganutnya dan senantiasa berlepas diri terhadap mereka. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَإِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali (kamu menyembah) yang menciptakanku; karena sungguh, Dia akan memberi petunjuk kepadaku”’ [Az-Zukhruf/43: 26-27]

2. Tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang;…” [Al-Mumtahanah/60: 1]

3. Meninggalkan negeri-negeri kafir dan tidak bepergian ke sana kecuali untuk keperluan darurat dan dengan kesanggupan memperlihatkan syi’ar-syi’ar agama dan tanpa ada pertentangan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِيْنَ

Aku melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap setiap muslim yang bermukim (berdomisili) di antara kaum musyrikin.”[2]

4. Tidak menyerupai orang-orang kafir pada apa yang telah menjadi ciri khas mereka dalam masalah dunia (seperti gaya makan dan minum) dan juga ciri khasnya yang berkaitan dengan agama:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ، وَوَفِّرُوْا اللِّحَى، وَأَحْفُوْا الشَّوَارِبَ.

Berbedalah dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggotmu[3] dan tipiskanlah kumismu.”[4]

5. Tidak menolong, memuji, membantu orang-orang kafir dalam menghadapi kaum Muslimin.

6. Tidak meminta bantuan dan pertolongan dari orang-orang kafir dan tidak menjadikan mereka sebagai sekutu-sekutu yang dipercaya menjaga rahasia dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan penting.[5]

7. Tidak terlibat dengan mereka dalam hari raya dan kegembiraan mereka, juga tidak memberikan ucapan selamat. Umat Islam tidak boleh mengikuti perayaan orang-orang kafir dan tidak boleh memberikan ucapan selamat kepada mereka.

8. Tidak memohonkan ampunan bagi mereka meskipun mereka keluarga terdekat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu, adalah penghuni Neraka Jahannam.” [At-Taubah/9: 113]

9. Tidak berbasa-basi dan bercanda dengan mereka melalui cara-cara yang merugikan agama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

Mereka menginginkan agar engkau bersikap lunak maka mereka bersikap lunak (pula).” [Al-Qalam/68: 9]

10. Tidak menyandarkan hukum kepada mereka, atau tidak setuju dengan hukum yang dibuat oleh mereka, serta tidak mengikuti ajakan mereka untuk meninggalkan hukum Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah Azza wa Jalla:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“…Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” [Al-Maaidah/5: 44]

11. Tidak memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَتَبْدَأُوا الْيَهُوْدَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ، فَإِذَا لَقِيْتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيْقٍ فَاضْطَرُّوْهُ إِلَى أَضْيَقِهِ

Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani, apabila kalian berjumpa dengan salah seorang di antara mereka, maka desaklah ia ke tepi yang paling sempit.”[6]

Apabila orang kafir memulai mengucapkan salam kepada kaum Muslimin, maka jawablah dengan ucapan: وَعَلَيْكُمْ (wa‘alaikum).

Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya Shahabat Nabi Radhiyallahu anhum bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) mereka mengucapkan salam kepada kami, bagaimana kami menjawab salam mereka?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapkanlah wa’alaikum.”[7]

G. Hukum Bermuamalah Dengan Orang Kafir[8]
1. Boleh melakukan transaksi dengan mereka dalam perdagangan, sewa menyewa dan jual beli barang selama alat tukar dan barangnya dibenarkan menurut syari’at Islam.

2. Wakaf mereka dibolehkan selama itu pada hal-hal dimana wakaf terhadap kaum Muslimin dibolehkan. Misalnya, derma terhadap fakir miskin, perbaikan jalan, derma terhadap ibnu sabil dan semacamnya.

3. Boleh memberi pinjaman dan atau meminjam dari mereka walaupun dengan cara menggadaikan barang. Sebab diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia sedang baju perangnya digadaikan kepada seorang Yahudi dengan 30 sha’ gandum.[9]

4. Haram mengizinkan mereka membangun rumah ibadah mereka di negeri Muslim.

5. Orang Dzimmi (non muslim yang berada di negeri Muslim) dan Mu’ahad (non muslim yang mempunyai perjanjian damai dengan negeri Muslim) tidak boleh diganggu selama mereka melaksanakan kewajiban mereka dan tetap mematuhi perjanjian.

6. Hukum qishas atas nyawa dan lainnya juga diberlakukan kepada mereka.

7. Boleh melakukan perjanjian damai dengan mereka, baik karena permintaan kita maupun karena permintaan mereka, selama itu mewujudkan kemashlahatan umum bagi kaum Muslimin dan pemimpin kaum Muslimin sendiri cenderung ke arah itu, hal ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :

وَإِن جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا

Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah…” [Al-Anfaal/8: 61]

Tapi perjanjian damai itu harus bersifat sementara dan tidak mutlak.

8. Darah, harta dan kehormatan kafir Dzimmi, Mu‘ahad dan musta’man (orang yang minta jaminan keamanan) adalah haram (tidak boleh ditumpahkan darahnya), apabila mereka bukan kafir Harbi (orang kafir yang memerangi kaum Muslimin).

9. Perbedaan antara al-Bara’ dengan Keharusan Bermu’amalah yang Baik
Sikap permusuhan terhadap orang kafir tidak berarti bahwa kita boleh bersikap buruk terhadap mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Seorang muslim bahkan harus berbuat baik kepada kedua orang tuanya yang masih musyrik.

Firman Allah Azza wa Jalla :

وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik…” [Luqman/31: 15]

Kebencian itu juga tidak boleh mencegah kita untuk melakukan apa yang menjadi hak-hak mereka, menerima kesaksian-kesaksian sebagian mereka atas sebagian yang lain serta berbuat baik terhadap mereka.

Firman Allah Azza wa Jalla :

لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” [Al-Mumtahanah/60: 8]

Hukum ini berlaku untuk orang kafir yang mempunyai perjanjian damai dan jaminan dari kaum muslimin dan tidak berlaku bagi orang kafir yang berstatus ahlul Harb (orang kafir yang memerangi kaum Muslimin).

Dengan demikian jelaslah bahwa mu’amalah yang baik dengan orang kafir adalah suatu akhlak mulia yang sangat dianjurkan dan diperintahkan oleh syari’at Islam. Sedangkan yang diharamkan adalah mendukung dan menolong orang kafir dalam rangka kekufuran. Pengharaman ini dapat menyebabkan pelakunya sampai kepada kekufuran.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

“…Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka….” [Al-Maaidah/5: 51]

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Psutaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1] Lihat al-Madkhal lidiraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal 201-203).
[2] HR. Abu Dawud (no. 2645), at-Tirmidzi (no. 1604) dari Shahabat Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1207).
[3] Imam an-Nawawi ketika menjelaskan makna اِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ (peliharalah jenggotmu) artinya: “Tidak boleh digunting sedikit pun.” Lihat Riyaadhus Shaalihiin hadits no. 1204.
[4] HR. Al-Bukhari (no. 5892) dan Muslim (no. 259 (54)) dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu.
[5] Lihat QS. Ali ‘Imran/3: 118.
[6] HR. Muslim no. 2167 (13) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[7] HR. Muslim no. 2163 (7) dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[8] Lihat al-Madkhal lidiraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 209).
[9] HR. Al-Bukhari (no. 2916) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/712-hak-hak-al-bara-2.html